JAKARTA, KOMPAS.com — Draf RUU Intelijen Negara dinilai masih belum menyertakan mekanisme koreksi. Padahal, menurut Perwakilan Kontras, Puri Kencana Putri, mekanisme koreksi ini penting untuk mengungkapkan segala bentuk praktik penyimpangan yang dilakukan intel.
"Yang belum tersentuh (RUU Intelijen Negara) adalah mekanisme koreksi. Mekanisme ini untuk mengungkap bentuk praktik penyimpangan yang bisa dilakukan aparat intel," ujarnya dalam diskusi "Mengurai Benang Kusut Regulasi Bidang Pertahanan dan Keamanan", Kamis (12/8/2010) di Hotel Santika, Jakarta.
Hal ini dilatarbelakangi keyakinan bahwa setiap operasi yang dilakukan intel berpeluang adanya hak asasi manusia (HAM) yang tercerabut sehingga elemen-elemen mekanisme koreksi dalam upaya pengungkapan kebenaran adalah hal yang wajib dimasukkan ke dalam satu tubuh RUU.
Selain itu, Puri menyoroti hukuman para pelaku yang bersalah atau telah melanggar aturan dalam operasi intelijen juga masih belum dijelaskan dalam RUU tersebut. Sementara apabila sudah ditetapkan ada kegiatan intelijen yang menghilangkan HAM, maka perlu suatu metode reparasi.
"Kalau ada HAM yang hilang, perlu ada metode reparasi, misalnya dengan restitusi, rehabilitasi, kepuasan korban, dan jaminan tidak akan dilakukan lagi perbuatan intel tersebut," ujarnya.
Namun, menurut Puri, mekanisme reparasi pada korban pelanggaran HAM yang dilakukan intel pun masih terbilang rentan. Hal ini karena sejumlah kasus pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada Kasus Tanjung Priok juga tidak menjamin hak rehabilitasi, restitusi, dan jaminan tidak dilakukannya lagi juga ditegakkan.
Puri menjelaskan, kalau sistem reparasi tidak disiapkan dari awal, maka akan menyebabkan negara mengabaikan HAM sehingga menjadi imun. "Kalau sistem pengawasan dan kontrol masuk dalam RUU Intel ini, maka kita akan bisa lihat masa depan RUU intel akan lebih baik dari sebelumnya," tandasnya.
No comments:
Post a Comment